Nyanyi sunyi temaram melanda. Gerimis
sudah reda. Bintang mulai nyata di langit bagai gugusan mutiara. Awan hitam berjalan pelan, menuju ke peraduan. Angin mendesis tipis hari yang kian terkikis.
Sungguh dingin. Kabut putih mengurung desa. Dari gunung ia membawa cerita. Garengpung berhenti
menyanyikan suara penyobek telinga. Kini giliran jangkrik-jangkrik yang berderik menandakan
malam yang kian pekat, mencengkeram rasa.
Diujung desa, perlahan terdengar
orang-orang menabuh gamelan. Entah siapa. Sebab tak ada gamelan di desa ini. Kalaupun
ada siapakah yang bisa memainkannya? Irama mengalun tenang. Lirik tembang
terdengar kini. Kidung Purwajati.
Si pemuda masih duduk di atas tikar
buatan ibunya. Sarung yang semula hanya melilit di pundak, kini terbentang
ke tubuh hendak. Malam yang atis menyembulkan
asap putih setiap kali pemuda menyesah nafasnya. Nafas penuh tanya.
Di dalam pondok pun dingin tiada kira,
bagaimana dengan bungaku yang di luar sana? Akankah sarung ini juga dibutuhkannya?
Tanya dalam hati. Namun apa boleh dibuat, ia tak mungkin memindahkan bunganya. Sebab
demikianlah suratan takdir.Sudah menjadi jalan hidupnya untuk selalu duduk di
samping Pohon Kesumba. Di sana meski dingin dan gelap, ia bisa berunjuk amal
dan bakti. Sedang di sini, mungkin justru berujung mati.
Syahdan, pertemuan yang menghanyutkan beberapa bulan yang telah terlewatkan. Dalam mimpi bestari, ibu pertiwi menampakkan kemuliaan. Sang pemuda sedang hendak ke hutan seperti biasa, hingga suatu ketika di tengah jalan yang muram bertemu gadis nan jelita. Ia memetik bunga kuning-biru, merah-ungu yang indah.
Lalu bertanyalah sang pemuda perihal nama dan rumahnya. Namun sayang seribu sayang, sang gadis tak suka dipaksa perihal dirinya. Ia lebih memilih diam tak berkata-kata. Hari demi hari, minggu berganti minggu, pemuda tak kuat menahan rindu hingga suatu saat ketika hendak ke hutan; ia menemui gadis itu hendak menyatakan cintanya.
Lalu, demikianlah diceritakan, gadis itu menangis bukan kepalang. Ia menyesak, nafasnya mendesak, ingin meronta namun kepada siapa. Dipeluknya sang pemuda dalam hangat yang teramat dalam, lalu akhirnya ia pun berbicara.
"Benowo, apakah kamu lupa ataukah sengaja melakukan ini semua? Bukankah kubilang kita sebaiknya diam dulu sejenak. Jangan berkata-kata rasa, apalagi cinta. Sudah kubilang hal itu teramat dalam dan sakral untuk kita pinta. Berkali-kali aku pesan untuk kamu tetap diam. Jangan meminta ataupun meronta, sebab semua punya jalannya masing-masing. dan jalan kita adalah untuk tetap bersama. Namun bukan beginilah caranya!", tangis kelu, pilu, penuh sesak oleh penyesalan.
"Puspita, engkaulah gambaran yang ada dalam iampian ibu pertiwi. Sungguh kamulah orang itu. Lalu jika memang demikian, mengapa harus kita bermain sembunyi tangan?", pemuda sedikit memberontak dalam tanya.
Cinta dua dunia memang tak terelakkan. Kisah dua dunia terlalu kuat untuk dipisahkan meski sulit disatukan. Sang bunga sungguh menyadari ini semua, hanya ia memikirkan satu jalan meski akhirnya harus diterjang oleh pemuda pujaan. Jangan pernah mengatakan cinta, sebab kehancuran pasti menjadi akhir ceritanya.
Mengingat semua kisah itu, sering ia berkeluh panjang. Mengapa semua itu akhirnya ia lakukan? Mengapa dulu ia tak pernah memperhatikan? Kini semua telah berlalu dalam kemalangan. Meski beruntung cinta tak berakhir kematian. Ia kini menjadi sebentuk bunga di samping Pohon Kesumba. Kasih sayang lewat siraman doa-doa sambil berharap malam nanti bertemu gadis itu dalam mimpinya. Sekali lagi ia menyesah. Ya sudahlah.
Lalu bertanyalah sang pemuda perihal nama dan rumahnya. Namun sayang seribu sayang, sang gadis tak suka dipaksa perihal dirinya. Ia lebih memilih diam tak berkata-kata. Hari demi hari, minggu berganti minggu, pemuda tak kuat menahan rindu hingga suatu saat ketika hendak ke hutan; ia menemui gadis itu hendak menyatakan cintanya.
Lalu, demikianlah diceritakan, gadis itu menangis bukan kepalang. Ia menyesak, nafasnya mendesak, ingin meronta namun kepada siapa. Dipeluknya sang pemuda dalam hangat yang teramat dalam, lalu akhirnya ia pun berbicara.
"Benowo, apakah kamu lupa ataukah sengaja melakukan ini semua? Bukankah kubilang kita sebaiknya diam dulu sejenak. Jangan berkata-kata rasa, apalagi cinta. Sudah kubilang hal itu teramat dalam dan sakral untuk kita pinta. Berkali-kali aku pesan untuk kamu tetap diam. Jangan meminta ataupun meronta, sebab semua punya jalannya masing-masing. dan jalan kita adalah untuk tetap bersama. Namun bukan beginilah caranya!", tangis kelu, pilu, penuh sesak oleh penyesalan.
"Puspita, engkaulah gambaran yang ada dalam iampian ibu pertiwi. Sungguh kamulah orang itu. Lalu jika memang demikian, mengapa harus kita bermain sembunyi tangan?", pemuda sedikit memberontak dalam tanya.
Cinta dua dunia memang tak terelakkan. Kisah dua dunia terlalu kuat untuk dipisahkan meski sulit disatukan. Sang bunga sungguh menyadari ini semua, hanya ia memikirkan satu jalan meski akhirnya harus diterjang oleh pemuda pujaan. Jangan pernah mengatakan cinta, sebab kehancuran pasti menjadi akhir ceritanya.
***
Mengingat semua kisah itu, sering ia berkeluh panjang. Mengapa semua itu akhirnya ia lakukan? Mengapa dulu ia tak pernah memperhatikan? Kini semua telah berlalu dalam kemalangan. Meski beruntung cinta tak berakhir kematian. Ia kini menjadi sebentuk bunga di samping Pohon Kesumba. Kasih sayang lewat siraman doa-doa sambil berharap malam nanti bertemu gadis itu dalam mimpinya. Sekali lagi ia menyesah. Ya sudahlah.
Bulan kian tinggi. Semakin lirih
suara purwajati. Ahh..hari mulai pagi. Sang pemuda menguap panjang. Dalam duduk
ia mengangguk. Lalu terlelap oleh kantuk.
Pemuda bermimpi tentang gadis itu lagi, ia tersenyum penuh harap. Dipeluknya pemuda itu dalam kasih sayang yang hangat. Dalam hati, sang pemuda berharap janganlah pernah berakhir ini semua. Ia bersumpah dalam hati, tak akan pernah lagi mengatakan, kalau hal itu justru akan memisahkan mereka.