Sabtu, 26 Maret 2016

SILENT (4) – Dua Dunia



Nyanyi sunyi temaram melanda. Gerimis sudah reda. Bintang mulai nyata di langit bagai gugusan mutiara. Awan hitam berjalan pelan, menuju ke peraduan. Angin mendesis tipis hari yang kian terkikis. 

Sungguh dingin. Kabut putih mengurung desa. Dari gunung ia membawa cerita. Garengpung  berhenti menyanyikan suara penyobek telinga. Kini giliran jangkrik-jangkrik yang berderik menandakan malam yang kian pekat, mencengkeram rasa.


Diujung desa, perlahan terdengar orang-orang menabuh gamelan. Entah siapa. Sebab tak ada gamelan di desa ini. Kalaupun ada siapakah yang bisa memainkannya? Irama mengalun tenang. Lirik tembang terdengar kini. Kidung Purwajati.    


Si pemuda masih duduk di atas tikar buatan ibunya. Sarung yang semula hanya melilit di pundak, kini terbentang ke tubuh hendak. Malam yang atis menyembulkan asap putih setiap kali pemuda menyesah nafasnya.  Nafas penuh tanya.


Di dalam pondok pun dingin tiada kira, bagaimana dengan bungaku yang di luar sana? Akankah sarung ini juga dibutuhkannya? Tanya dalam hati. Namun apa boleh dibuat, ia tak mungkin memindahkan bunganya. Sebab demikianlah suratan takdir.Sudah menjadi jalan hidupnya untuk selalu duduk di samping Pohon Kesumba. Di sana meski dingin dan gelap, ia bisa berunjuk amal dan bakti. Sedang di sini, mungkin justru berujung mati.  


Syahdan, pertemuan yang menghanyutkan beberapa bulan yang telah terlewatkan. Dalam mimpi bestari, ibu pertiwi menampakkan kemuliaan. Sang pemuda sedang hendak ke hutan seperti biasa, hingga suatu ketika di tengah jalan yang muram bertemu gadis nan jelita. Ia memetik bunga kuning-biru, merah-ungu yang indah. 

Lalu bertanyalah sang pemuda perihal nama dan rumahnya. Namun sayang seribu sayang, sang gadis tak suka dipaksa perihal dirinya. Ia lebih memilih diam tak berkata-kata. Hari demi hari, minggu berganti minggu, pemuda tak kuat menahan rindu hingga suatu saat ketika hendak ke hutan; ia menemui gadis itu hendak menyatakan cintanya. 

Lalu, demikianlah diceritakan, gadis itu menangis bukan kepalang. Ia menyesak, nafasnya mendesak, ingin meronta namun kepada siapa. Dipeluknya sang pemuda dalam hangat yang teramat dalam, lalu akhirnya ia pun berbicara. 

"Benowo, apakah kamu lupa ataukah sengaja melakukan ini semua? Bukankah kubilang kita sebaiknya diam dulu sejenak. Jangan berkata-kata rasa, apalagi cinta. Sudah kubilang hal itu teramat dalam dan sakral untuk kita pinta. Berkali-kali aku pesan untuk kamu tetap diam. Jangan meminta ataupun meronta, sebab semua punya jalannya masing-masing. dan jalan kita adalah untuk tetap bersama. Namun bukan beginilah caranya!", tangis kelu, pilu, penuh sesak oleh penyesalan.

"Puspita, engkaulah gambaran yang ada dalam iampian ibu pertiwi. Sungguh kamulah orang itu. Lalu jika memang demikian, mengapa harus kita bermain sembunyi tangan?", pemuda sedikit memberontak dalam tanya.


Cinta dua dunia memang tak terelakkan. Kisah dua dunia terlalu kuat untuk dipisahkan meski sulit disatukan. Sang bunga sungguh menyadari ini semua, hanya ia memikirkan satu jalan meski akhirnya harus diterjang oleh pemuda pujaan. Jangan pernah mengatakan cinta, sebab kehancuran pasti menjadi akhir ceritanya. 

***   

Mengingat semua kisah itu, sering ia berkeluh panjang. Mengapa semua itu akhirnya ia lakukan?  Mengapa dulu ia tak pernah memperhatikan? Kini semua telah berlalu dalam kemalangan. Meski beruntung cinta tak berakhir kematian. Ia kini menjadi sebentuk bunga di samping Pohon Kesumba. Kasih sayang lewat siraman doa-doa sambil berharap malam nanti bertemu gadis itu dalam mimpinya. Sekali lagi ia menyesah. Ya sudahlah. 


Bulan kian tinggi. Semakin lirih suara purwajati. Ahh..hari mulai pagi. Sang pemuda menguap panjang. Dalam duduk ia mengangguk. Lalu terlelap oleh kantuk. 



Pemuda bermimpi tentang gadis itu lagi, ia tersenyum penuh harap. Dipeluknya pemuda itu dalam kasih sayang yang hangat. Dalam hati, sang pemuda berharap janganlah pernah berakhir ini semua. Ia bersumpah dalam hati, tak akan pernah lagi mengatakan, kalau hal itu justru akan memisahkan mereka.  

Kamis, 24 Maret 2016

SILENT (3) - Naga Anila



Penduduk Desa Sidobali mendadak riuh! 

Tak jauh dari pohon Kesumba tumbuhlah setangkai bunga. Bunga itu manis dan elok; tinggi selutut orang dewasa, bentuknya bulat nyempluk seperti apem, warnanya merah berseri dengan taburan titik-titik berwarna biru, kuning dan ungu. Batangnya sebesar jempol lelaki remaja, sekujur batang itu dipenuhi bulu-bulu halus putih warnanya. Daunnya mirip daun cocor bebek, berjumlah dua saja. Bunga yang elok nan cantik. Penduduk mendapatinya menangis semenjak malam tadi! 

Usut punya usut, Puspitasari namanya, sedang menunggu kakanda sudah tujuh purnama. Ia pergi ke hutan yang setengah siang saja jaraknya. Lelaki pemberani selalu berkelana ke Hutan Rawarontek. Sebuah alas gung liwang Liwung, yang luasnya tak terbatas ke timur dan ke utara. 

Di sana hawanya selalu lembab, anginnya dingin melambai-lambai, tanahnya gembur, selalu basah oleh air hujan yang menuruni ngarai. Di hutan itu hujan tak pernah berhenti, petir siang malam menari-nari. Sesaat sebelum siang pergi, pelangi selalu menampakkan keindahan ratri.

Hanya di Hutan Rawarontek, matahari timbul secuil sinarnya. Malam hari bintang membentangkan makna-makna, pelajaran ilmu surga. Saat bulan purnama seribu malaikat akan turun, melawat hutan itu. Mereka selalu menanam benih damai sejahtera. Membeberkan warta keselamatan semesta. 

Jika seseorang beruntung, ia akan menemukan sebuah candi yang terbuat dari batu bata. Bentuknya tak megah, hanya semacam gapura persegi, sebesar gedong pemujaan di pojok desa. Bangunannya tinggi, sejumlah seribu satu anak tangga. Pada tangga-tangga itulah malaikat yang juga seribu jumlahnya mendendangkan lagu syahdu, duka jagad raya. Satu tangga terbawah dikosongkan sengaja. Itulah tempat manusia tertabis menjalani ritualnya.  

Candi itu selalu dijaga oleh seekor naga bermata merah api menyala. Badannya kokoh kekar berkelok-kelok, sebesar pohon kelapa tua. Sisiknya bulat sakti bak perisai dari besi. Pada kepalanya, ia memakai mahkota emas dengan gambar bunga Cempaka di dahi.  

Naga itu kabarnya tidak pernah tidur. Badannya selalu menjulur, mengelilingi candi itu bahkan hingga tiga kali putaran panjangnya. Mata dan telinganya tajam, mampu menangkap gerak dan suara hingga tiga ratus ribu langkah jauhnya. Ia tak hanya menangkap gerak dan suara, konon ia mampu mengenali maksud hati si pelakunya. Jika datang manusia berhati busuk, jadi geramlah ia, matanya menyala, sisiknya mekar, matanya mendongak tinggi, lidahnya menjulur menyerukan gulungan api yang siap membakar angkara!

***
Senyap…sunyi…hanya jangkrik menjeritkan bunyi…

Dan sampailah pemuda itu hingga ke mulut candi. “Dimanakah Sang Naga Anila?”, tanya pemuda dalam hati. Ia menuju pelataran candi lalu hendak naik ke undakan lagi.

“Apa yang kamu cari?”, lelaki tua berbadan ceking sedang mengumpulkan kayu kering. Kulitnya hitam legam, keriput, berkerut-kerut dimakan jaman. Rambutnya yang putih dan panjang terlihat sudah mulai jarang. Ia memakai baju mirip surjan berwarna hitam legam. Celananya gombrong dengan sarung coklat diselempangkan. Kain sarung itu bercorak kelapa wutah khas petani pedalaman. Barang seperti itu biasanya bekas para bangsawan yang setiap bulan ruwah dijual di Pasar Kembang. Harganya lima pikul padi ketan. Maklum, narapraja Mataram paling hobi ketan pulen dengan lauk serundeng kelapa muda. Gurih campur manis legit yang menggoda. 

“Aku mencari Naga Anila!”, pemuda itu menjawab sekenanya.  

“Ia tidak ada di sini. Jika Naga Anila yang kamu cari, ia sudah pergi”, tukas aki sedikit nada tinggi. Wajahnya mulai sedikit tersingkap. Pipinya tirus. Giginya tanggal beberapa. Janggut sepanjang jengkal. Jidat sempit tertutup rambut bersliweran. 

“Pulanglah! Dindamu menangis semalaman. Sudah tujuh purnama ia kau tinggalkan.”

“Jika nanti bertemu Puspitasari, siramilah ia setiap hari dengan doa-doa dan puja rukmi. Rawat dengan sabar dan sepenuh hati. Semoga dengan kehendak dewata, seluruh angan-angan dan cita-citamu akan segera tercapai.” kata aki. 

Lalu datang angin tipis menyapa, dahi tersibak sedikit saja. Ada yang tergambar di sana. Lalu seorang lelaki tua itu menghilang terkubur rasa.  
***
Demikianlah pemuda itu pulang, dan menceritakan seluruh kisahnya pada warga desa. Semua bingung setengah percaya. 

Tetua bertanya,”Apa yang kau lihat pada dahi orang tua itu?”. Pemuda diam seribu bahasa. Berkerut-kerut dahi mengingatnya. Ia hampir saja lupa pada pandangan seketika. Itulah sesungguhnya, gambar bunga Cempaka.    

Selasa, 22 Maret 2016

SILENT (2)



Hari mulai memanas. Mbok Rawe bergegas membawa daun talas. Tanpa alas ia memangkas doa-doa yang terulas. Ia adalah satu dari sekian banyak perempuan Sidomulih yang tersumpah setia, anggota underground movement, pejuang berdiri dan tegaknya Mataram di alas Mentaok, ibu kota kerajaan.

Apa hendak dikata, Pajang kian goyah pendiriannya. Mereka sibuk membalas dendam kepada penguasa Mataram hingga lupa pada tugas mulia; menyejahterakan rakyat dan memuliakan harkat manusia. 

Sementara Mataram, di bawah kepemimpinan Sutawijaya, pelan namun pasti kian memijar cahayanya, melebarkan pusat kekuasaannya, menebang hutan, membangun jalan, mengundang saudagar, membangun pasar, mengokohkan gerbang kota dan menyiagakan penjaganya.  

Sutawijaya bagi sementara orang memang hanya pemuda biasa. Ia adalah putera Ki Ageng Pemanahan, seorang petani yang konon masih memiliki aliran darah bangsawan Majapahit. Sebuah negeri yang gegap gempita pada jaman keemasannya. 

Meski berdarah bangsawan, namun tak elak orang heran, sebab tak ada tanda-tanda kekuasaan di telapak tangannya. Mana ada bangsawan memegang cangkul di sawah? Mana bisa darah bangsawan menebang kayu di hutan? Berteman nyamuk, kera, celeng dan macan yang ganas.  

Hingga suatu hari yang istimewa. Utusan Raja Pajang membawa berita sayembara. Barang siapa mampu menundukkan musuh negara akan diberi hadiah tanah perdikan. Itulah janji Hadiwijaya menyerukan asa. 

Ki Ageng Pemanahan menyanggupi sayembara itu. Beruntung bukan kepalang, sang ayahanda, Pemanahan, syahdan mampu menundukkan Arya Penangsang. Maka jadilah janji raja untuk memberikan tanah Mataram sebagai hadiahnya.   

Nama Mataram barangkali bertali kata dengan Mutter yang berarti ibu (Bahasa Jerman) atau Mother (dalam Bahasa Inggris). Mataram adalah ibu sekaligus kalbunya Nusantara. Ia selalu menjadi petirahan bagi kesatria yang lelah dan hilang tujuan. Di bumi Mataram segala yang panas menjadi dingin, dan yang congkrah menjadi ingin berdamai. Ibu manakah tidak sayang anak-anaknya? Ia samudera cinta.
***
Mbok Rawe bergegas hengkang, hendak menyiapkan tikar dan wedang. Sebab suaminya hendak segera datang, ke Desa Sidomulih, tempat semua makhluk berpulang.  

Sabtu, 19 Maret 2016

SILENT (1)



Seorang pertapa konon selalu berbicara kepada Pohon Kesumba di belakang rumah. Pohon itu rindang dan kokoh sehingga banyak orang ingin singgah dan berteduh di sana. Semakin hari semakin banyak orang yang sering singgah dan duduk di bawah pohon itu. Mereka membawa talam, menenteng air minum bahkan ada yang membuka bekal setelah lelah bekerja di sawah.

Pohon Kesumba, nama yang aneh di telinga. Siapakah sang pemberi nama? Mungkin saja seorang kesatria Pajang yang dahulu lalu lalang dari timur ke barat, ke Mataram. Bukankah Pajang dan Mataram itu kakak beradik? Berawal dari kemunculan Pajang lalu lahirlah Mataram. Begitu kata kakek buyutku. 

Berteduh di bawah pohon itu laksana mendengar kisah-kisah lama yang tak akan pernah usang. Cerita tentang kekuasaan dan politik, tentang manusia yang keluar dari cangkangnya, meretas nasib memperpanjang harkat, memanusiakan manusia. Satu yang tak akan mungkin lupa, kisah cinta. Semua terekam di pohon itu, di balik kulit tebal yang kasar, di bawah kambium yang melumasi batang isinya. 

Saat ini, kisah-kisah tua terimpan di bibir masyarakat. Dibalik gigi ompong manusia renta, di balik kisah imajiner anak-anak polos penghuni Desa Sidomulih. Sidomulih namanya, di desa sunyi dan dingin inilah semua orang diyakini akan berpulang, tidak terkecuali para kesatri Pajang. 

Pohon Kesumba, pohon yang penuh doa-doa, cabang-cabangnya menyimpan harapan anak manusia. Di bawah pohon ada kemenyan dan bunga, tanda harap yang tak kan ada habisnya. Pohon Kesumba, di pohon itulah sang pendeta, selalu datang dan bercengkerama. Berbicara pelik dan rumit dari hati ke hati, di tengah kepulan asap dupa dan tentu saja, harum bunga Cempaka. 

Pohon Kesumba, kekar menengadah ke langit lepas. Menyelenggarakan beribu asa dan cemas, dahulu konon seorang pendekar pernah menyerahkan nyawanya, di bawah pohon itu. Ia gugur dalam usaha memenangkan pujaan hatinya. Namun apa hendak dikata, ia harus kalah oleh raksasa dewa penunggu Sendang Tambora. Sendang Tambora bukan sendang biasa, ada jutaan buaya lapar menunggu mangsa. Di sana sang pendekar harus lupa, bahwa cinta tak seharusnya diperebutkan paksa. Akhirnya matilah ia, setelah terluka hulu pedang riam raksasa. Buaya mampu dikalahkannya, hanya kalah oleh jerat tali sukma, cintanya sendiri. Tertatih ia merambat ke pohon itu, semalam lamanya, sebelum akhirnya tertindih oleh maut, di bawah pohon itu juga, Pohon Kesumba.

Banyak kisah akan terucap, banyak lagi cerita dalam potongan sengit menggigit. Bukan cerita saya, inilah cerita rekaman Pohon Kesumba.