Seorang pertapa konon selalu
berbicara kepada Pohon Kesumba di
belakang rumah. Pohon itu rindang dan kokoh sehingga banyak orang ingin singgah
dan berteduh di sana. Semakin hari semakin banyak orang yang sering singgah dan
duduk di bawah pohon itu. Mereka membawa talam, menenteng air minum bahkan ada
yang membuka bekal setelah lelah bekerja di sawah.
Pohon Kesumba, nama yang aneh
di telinga. Siapakah sang pemberi nama? Mungkin saja seorang kesatria Pajang yang
dahulu lalu lalang dari timur ke barat, ke Mataram. Bukankah Pajang dan Mataram
itu kakak beradik? Berawal dari kemunculan Pajang lalu lahirlah Mataram. Begitu
kata kakek buyutku.
Berteduh di bawah pohon itu laksana
mendengar kisah-kisah lama yang tak akan pernah usang. Cerita tentang kekuasaan
dan politik, tentang manusia yang keluar dari cangkangnya, meretas nasib
memperpanjang harkat, memanusiakan manusia. Satu yang tak akan mungkin lupa,
kisah cinta. Semua terekam di pohon itu, di balik kulit tebal yang kasar, di bawah
kambium yang melumasi batang isinya.
Saat ini, kisah-kisah tua terimpan
di bibir masyarakat. Dibalik gigi ompong manusia renta, di balik kisah imajiner
anak-anak polos penghuni Desa Sidomulih.
Sidomulih namanya, di desa sunyi dan dingin inilah semua orang diyakini akan
berpulang, tidak terkecuali para kesatri Pajang.
Pohon Kesumba, pohon yang penuh
doa-doa, cabang-cabangnya menyimpan harapan anak manusia. Di bawah pohon ada
kemenyan dan bunga, tanda harap yang tak kan ada habisnya. Pohon Kesumba, di pohon
itulah sang pendeta, selalu datang dan bercengkerama. Berbicara pelik dan rumit
dari hati ke hati, di tengah kepulan asap dupa dan tentu saja, harum bunga
Cempaka.
Pohon Kesumba, kekar menengadah ke
langit lepas. Menyelenggarakan beribu asa dan cemas, dahulu konon seorang
pendekar pernah menyerahkan nyawanya, di bawah pohon itu. Ia gugur dalam usaha
memenangkan pujaan hatinya. Namun apa hendak dikata, ia harus kalah oleh
raksasa dewa penunggu Sendang Tambora.
Sendang Tambora bukan sendang biasa, ada jutaan buaya lapar menunggu mangsa. Di
sana sang pendekar harus lupa, bahwa cinta tak seharusnya diperebutkan paksa.
Akhirnya matilah ia, setelah terluka hulu pedang riam raksasa. Buaya mampu
dikalahkannya, hanya kalah oleh jerat tali sukma, cintanya sendiri. Tertatih ia
merambat ke pohon itu, semalam lamanya, sebelum akhirnya tertindih oleh maut,
di bawah pohon itu juga, Pohon Kesumba.
Banyak kisah akan terucap, banyak
lagi cerita dalam potongan sengit menggigit. Bukan cerita saya, inilah cerita
rekaman Pohon Kesumba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar