Sabtu, 19 Maret 2016

SILENT (1)



Seorang pertapa konon selalu berbicara kepada Pohon Kesumba di belakang rumah. Pohon itu rindang dan kokoh sehingga banyak orang ingin singgah dan berteduh di sana. Semakin hari semakin banyak orang yang sering singgah dan duduk di bawah pohon itu. Mereka membawa talam, menenteng air minum bahkan ada yang membuka bekal setelah lelah bekerja di sawah.

Pohon Kesumba, nama yang aneh di telinga. Siapakah sang pemberi nama? Mungkin saja seorang kesatria Pajang yang dahulu lalu lalang dari timur ke barat, ke Mataram. Bukankah Pajang dan Mataram itu kakak beradik? Berawal dari kemunculan Pajang lalu lahirlah Mataram. Begitu kata kakek buyutku. 

Berteduh di bawah pohon itu laksana mendengar kisah-kisah lama yang tak akan pernah usang. Cerita tentang kekuasaan dan politik, tentang manusia yang keluar dari cangkangnya, meretas nasib memperpanjang harkat, memanusiakan manusia. Satu yang tak akan mungkin lupa, kisah cinta. Semua terekam di pohon itu, di balik kulit tebal yang kasar, di bawah kambium yang melumasi batang isinya. 

Saat ini, kisah-kisah tua terimpan di bibir masyarakat. Dibalik gigi ompong manusia renta, di balik kisah imajiner anak-anak polos penghuni Desa Sidomulih. Sidomulih namanya, di desa sunyi dan dingin inilah semua orang diyakini akan berpulang, tidak terkecuali para kesatri Pajang. 

Pohon Kesumba, pohon yang penuh doa-doa, cabang-cabangnya menyimpan harapan anak manusia. Di bawah pohon ada kemenyan dan bunga, tanda harap yang tak kan ada habisnya. Pohon Kesumba, di pohon itulah sang pendeta, selalu datang dan bercengkerama. Berbicara pelik dan rumit dari hati ke hati, di tengah kepulan asap dupa dan tentu saja, harum bunga Cempaka. 

Pohon Kesumba, kekar menengadah ke langit lepas. Menyelenggarakan beribu asa dan cemas, dahulu konon seorang pendekar pernah menyerahkan nyawanya, di bawah pohon itu. Ia gugur dalam usaha memenangkan pujaan hatinya. Namun apa hendak dikata, ia harus kalah oleh raksasa dewa penunggu Sendang Tambora. Sendang Tambora bukan sendang biasa, ada jutaan buaya lapar menunggu mangsa. Di sana sang pendekar harus lupa, bahwa cinta tak seharusnya diperebutkan paksa. Akhirnya matilah ia, setelah terluka hulu pedang riam raksasa. Buaya mampu dikalahkannya, hanya kalah oleh jerat tali sukma, cintanya sendiri. Tertatih ia merambat ke pohon itu, semalam lamanya, sebelum akhirnya tertindih oleh maut, di bawah pohon itu juga, Pohon Kesumba.

Banyak kisah akan terucap, banyak lagi cerita dalam potongan sengit menggigit. Bukan cerita saya, inilah cerita rekaman Pohon Kesumba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar